Saya kesulitan menolak penjual yang satu ini, lebih karena pada dasarnya ia bukan seorang penjual, ia juga tidak sedang berjualan, walau ia sedang melakukan aktivitas penjualan. Ia adalah salah satu pendengar siaran radio saya. Seorang yang mengalami kebutaan secara bertahap. Dari terang menuju gelap dan untuk akhirnya sama-sekali gelap, adalah derita yang hanya dengan membayangkan saja sudah terasa beratnya.
Tetapi teman ini enak saja menceritakan seluruh deritanya. "Melek saya pernah, buta saya pernah. Jadi lengkap hidup saya," katanya ringan. Sebelum pandangannya gelap total, ia sampai pada tahapan kabur. Sebuah tahapan yang menurutnya sangat menyiksa. Sebagai orang normal ia tidak lagi awas, sebagai orang buta, syarafnya belum terlalu peka. Jadi tanggung. Akibatnya ia sering harus meraba-raba untuk sampai ke tempat-tempat yang bahkan telah ia hafali ketika matanya masih awas.
Ia seorang guru. Dalam keadaan mata mengabur ia masih terus mengajar dan memasuki ruang kelas dengan merambat, menyentuhi apa saja dengan tangannya dan sesekali kepalanya harus terantuk benda-benda dan setelah sampai di kelas hanya ditinggalkan satu-persatu oleh murid-muridnya. "Pada keluar diam-diam dan yang tersisa tinggal empat orang," katanya. Dengan nada sedih? Tidak. Ia geli menterawai nasibnya sendiri.
Di kampungnya ia pernah menjadi bahan tertawaan ketika mencoba berjalan di jalan lurus yang rasanya telah ia hafali tetapi keadaan terbaru tak lagi ia kenali. Ia heran kenapa jalannya makin ke depan makin mendaki. Setelah terdengar gelak tawa di sekitar baru ia sadar bahwa ia sedang mendaki tumpukan pasir yang ditimbun di jalan itu. Di dalam angkot ia pernah disembur makian karena apa yang ia sangka sebagai jok adalah pangkuan seorang perempuan. Seluruhnya yang ia ceritakan adalah derita. Tetapi ia menceritakannya dengan kegelian yang nyata.
Orang inilah yang suatu kali bertelpon mengeluhkan keadaan ekonominya yang parah. Ia tinggak cuma bersama ibunya yang tua dengan pekerjaan yang sama sekali tak ada. Seluruh kemampuannya seperti tak berguna lagi ketika matanya dinyatakan buta total. Dan satu-satunya aset yang ia miliki hanyalah rumah tipe sangat sederhana ia beli secara kredit saat menjadi guru dan kini rumah itu terbengkalai begitu saja. Rumah itulah yang ia tawarkan pada saya, dan satu saja alasnanya: karena ia percaya bahwa saya adalah orang baik hati. "Setidaknya dari suara Anda yang saya dengar di radio," katanya.
Ditempatkan sebagai orang baik hati benar-benar membuat saya tersudut dan tegang karena saya paham apa konsekuensinya. Karena sudah dianggap baik hati, maka rumah itu harus saya beli, itulah pesannya. Tetapi ini soal membeli rumah. Meskipun tipe sangat sederhana (bobrok pula), duitnya pasti besar untuk ukuran penghasilan saya saat itu. Jadi jika memberatkan hidup, saya pasti lebih memilih kehilangan gelar baik hati ketimbang harus mempertaruhkan nasib sendiri. Apa sikap saya selanjutnya akan saya ceritakan pekan depan!